Bukan bermaksud nge-blog apalagi cuap-cuap di vlog, ini reportase langsung berbentuk tulisan sederhana dan campuran foto-video tentang kunjungan ke skatepark, skate spot, dan event skateboard langsung dari negeri asal skateboard, Amerika Serikat. oleh Zulhiczar Arie.
Pernah membayangkan berkunjung ke spot skate legendaris yang ada di video skate? Punya keinginan untuk datang ke acara skate keren, besar dan internasional kayak di update-an Instagram stories para pro skater? Atau berandai-andai membayangkan kapan ya bisa main di skatepark di luar negeri yang betonnya mulus, rail dan ledge-nya halus? Mmmmm... Stop terawangan kalian yang liar itu, karena realitanya tak seindah yang kalian bayangkan. Butuh perjuangan dan petualangan yang berliku untuk dapat mengunjungi tempat-tempat impian diatas. Artikel ini adalah buah kerjasama antara Treant Skate Store dan Wonder Media yang akan merangkum perjalanan sahabat kita yang sedang menjelajahi berbagai spot skateboard keren di Amerika Serikat. Simak cerita pertamanya saat ia kesasar di bawah kolong jembatan Burnside.
Kultur D.I.Y Portland dan semen diskonan di kolong jembatan Burnside.
Kursi kelas ini sudah bikin malas.
Celingak-celinguk ke luar jendela matahari bersinar cerah.
Otak sudah tidak bisa diajak kompromi, badan ini sudah gatal ingin melompat keluar.
Siang hari - 01.45 PM PST
Saya baru 3 hari di kota Portland, negara bagian Oregon, Amerika Serikat. Kotanya asyik sekali. Waktu masih di pesawat saya terheran-heran dengan sungai Columbia yang klise-nya sangat indah membelah kota. Melongo saya dibuatnya, tertegun di jendela pesawat United Airlines yang saya tumpangi setelah hampir 24 jam terbang dari Jakarta transit Tokyo transit San Fransisco lalu ke Portland. Di kota yang mana terkenal karena pucuk gunung Mt. Hood, terlihat persis seperti di opening film Paramount Pictures, lengkap dengan latar langit yang jingga keunguan, darimana bisa kombinasi warna seperti itu muncul di langit saya belum pernah menemukannya di Indonesia. Sesaat setelah mendarat di bandara PDX kode singkatan untuk bandara Portland, saya masih saja kagum, pemandangan di luar itu wallpaper atau pemandangan beneran. Ternyata beneran.
Sambil masih menerawang jendela, kelas selesai dengan sendirinya. Tidak ada bel, kelas selesai langsung ngacir saya ke stasiun trem terdekat. Orang sini menyebutnya street car. Saya ambil jalur B Loop yang menuju Lloyd district yang menyeberangi sungai Columbia yang indah tadi ke bagian kota seberang. Hari itu, walaupun sudah jam 3 sore tapi suhu udara masih panas seperti jam 1 siang. Mungkin karena matahari terbenam pukul 08.30 malam disini, sehingga hawa panas masih terasa sampai sore hari. Setelah trem menyeberangi Tilikum Crossing, jembatan paling baru yang dikhususkan untuk transportasi umum dan kendaraan non mesin saya agak was-was dimana saya sebaiknya akan turun. Waktu itu hape hanya mengandalkan koneksi wifi. Belum beli sim card lokal. Akhirnya nyasar karena Google Maps tidak jalan.
Sore hari 03.45 PM PST
Saya sudah turun di halte persimpangan jalan SE Grand dan E Burnside. Namun, karena peta tak bisa diakses yang ada di ingatan hanya satu; Burnside skatepark berada di bawah jembatan, entah diatasnya ada jembatan apa saya kurang tahu. Tapi karena merasa sudah turun di titik terdekat dengan Burnside street akhirnya jalan harus ditelusuri secara manual dan tujuan satu-satunya saat itu adalah menemukan kolong jembatan!
Setelah berputar putar keliling blok ada satu jembatan menuju pusat kota sangat menarik perhatian, bau-bau kegiatan anak muda sudah tercium. Ada banyak coretan graffiti disana. Ternyata benar. Di ujung bawah pondasi jembatan menuju downtown dibawah situlah nampak menjulang tinggi lekukan quarter pipe yang menempel di atas tembok tinggi itu. Langsung terlintas beberapa pro skater yang pernah wallride dan tail drop atau acid drop dari ketinggian hampir 4 meter itu. Mungkin ada Tony Trujillo, Brent Atchley, Chet Childress, Mike Vallely, hingga Grant Taylor dan para pelahap transisi lainnya.
Burnside skatepark terletak persis di bawah Burnside street yang membentang sejauh 21. 8 Km membelah kota Portland bagian utara ke selatan. Jalan tersebut dinamai dari nama seorang pedagang terkenal di Portland yaitu David Burnside di tahun 1891. Burnside skatepark sendiri mulai dibangun secara D.I.Y (do it yourself) pada tahun 90-an. Mencomot dari beberapa sumber online, kota Portland memiliki intensitas hujan yang tinggi. Para skater lokal kebingungan untuk cari tempat bermain skate indoor. Waktu itu, kota Portland masih dalam masa sulit, banyak pengangguran dan tingkat kriminalitas tinggi. Termasuk di daerah sekitar Burnside, karena dekat dengan jalur kereta api banyak tunawisma dan pengguna narkoba berkeliaran disitu. Hingga suatu malam berbekal semen diskonan dan beberapa sekop bekas, beberapa skater lokal Portland mulai membangun banks persis di bawah tembok kolong jembatan Portland. Lambat laun beberapa spot lain dibangun disana, hingga akhirnya terbentuklah skatepark sesungguhnya yang berdiri saat ini, usia skatepark ini sudah lebih dari 25 tahun, pemerintah kota Portland akhirnya mengakuisisi skatepark ini menjadi publik park. Namun dengan catatan, karena dibangun ilegal, kapan saja mereka bisa saja menutup atau menghancurkan skatepark ini dengan alasan (mungkin) pembangunan kota. Satu hal yang menurut saya penting dalam kasus skatepark Burnside ini adalah kultur D.I.Y yang akhirnya turut membangun kultur skateboard disana, karena dengan mereka melakukan uji coba membangun spot sendiri, mencampur semen, menemukan adukan dan ukuran yang pas akhirnya mengarahkan mereka menemukan jalan untuk membangun perusahaan skatepark builder sendiri. Cek website ini untuk melihat lebih jauh tentang perusahaan yang akhirnya berdiri karena pengalamannya membangun Burnside skatepark https://www.dreamlandskateparks.com/home/
Coba sedikit refleksi untuk skateboard di Indonesia, kita masih saja mengeluh belum ada skatepark yang bagus. Dengan ukuran dan campuran semen yang pas. Kita belum punya kultur sendiri untuk membuat D.I.Y spot. Kita ini masih setia lho dengan bermain skateboard di box and rail. Kultur skateboard memang lahir disini di Amerika, tapi apa yang saya pelajari mereka tidak establish dengan sendirinya, ada proses yang perlu dijalani hingga akhirnya sampai di titik yang sekarang ini. Bagaimana dengan di Indonesia? Nampaknya masih saja berkutat di box and rail lagi.
Anyway, kembali ke Burnside, sesampainya di depan skatepark, gerbang untuk masuknya sangat unik. Atau bisa dibilang tidak ada gerbang masuk, karena seluruhnya adalah bangunan skatepark jadi cara masuk ke skatepark tersebut adalah dengan menaiki satu pijakan kaki ke quarter terpendek. Saya pikir ini sangat menarik, jadi skatepark ini di-posisikan sebagai tempat yang agak eksklusif, tidak sembarangan manusia bisa naik dan masuk ke skatepark ini. Hari itu kebetulan saya tidak bawa papan skate, belum beli maksudnya. Jadi saya foto-foto aja dan ngasih makan Instagram.
Seminggu kemudian skatepark saya datangi lagi, yang sekarang sudah beli papan. Akhirnya kesampaian juga meluncur di skatepark tersebut. Lagi-lagi skatepark sepi, mungkin jam-nya kurang cocok dengan skater lain yang bermain disitu. Namun kalau melihat ukuran skatepark dan cara yang bisa kita mainkan disitu saya rasa skatepark ini tidak akan ramai. Saya merasa kecil dan gagu di skatepark tersebut, hanya bisa mboseh, pumping dan naik turun transisi. Perasaan senang dan canggung campur aduk, betapa bahagianya ketika bisa mengunjung skatepark legendaris namun merasa kaku pada saat yang bersamaan karena tidak bisa memainkannya dengan maksimal.
Layaknya ziarah para wali, belum afdol kalau belum kirim doa dan tebar bunga, maka ziarah skate yang pertama ini semoga bisa afdol hanya dengan mboseh dan carving diatas transisinya.
Nantikan liputan selanjutnya di artikel mendatang setiap bulan>>>
NEXT EPISODE: “KESASAR DI SKATOPIA”
About penulis:
Siang hari - 01.45 PM PST
Saya baru 3 hari di kota Portland, negara bagian Oregon, Amerika Serikat. Kotanya asyik sekali. Waktu masih di pesawat saya terheran-heran dengan sungai Columbia yang klise-nya sangat indah membelah kota. Melongo saya dibuatnya, tertegun di jendela pesawat United Airlines yang saya tumpangi setelah hampir 24 jam terbang dari Jakarta transit Tokyo transit San Fransisco lalu ke Portland. Di kota yang mana terkenal karena pucuk gunung Mt. Hood, terlihat persis seperti di opening film Paramount Pictures, lengkap dengan latar langit yang jingga keunguan, darimana bisa kombinasi warna seperti itu muncul di langit saya belum pernah menemukannya di Indonesia. Sesaat setelah mendarat di bandara PDX kode singkatan untuk bandara Portland, saya masih saja kagum, pemandangan di luar itu wallpaper atau pemandangan beneran. Ternyata beneran.
sungai Columbia dari atas Tilikum Crossing |
Sambil masih menerawang jendela, kelas selesai dengan sendirinya. Tidak ada bel, kelas selesai langsung ngacir saya ke stasiun trem terdekat. Orang sini menyebutnya street car. Saya ambil jalur B Loop yang menuju Lloyd district yang menyeberangi sungai Columbia yang indah tadi ke bagian kota seberang. Hari itu, walaupun sudah jam 3 sore tapi suhu udara masih panas seperti jam 1 siang. Mungkin karena matahari terbenam pukul 08.30 malam disini, sehingga hawa panas masih terasa sampai sore hari. Setelah trem menyeberangi Tilikum Crossing, jembatan paling baru yang dikhususkan untuk transportasi umum dan kendaraan non mesin saya agak was-was dimana saya sebaiknya akan turun. Waktu itu hape hanya mengandalkan koneksi wifi. Belum beli sim card lokal. Akhirnya nyasar karena Google Maps tidak jalan.
saat jalan di tengah kota menemukan tanda dimana jalan ini menuju Burnside |
Sore hari 03.45 PM PST
Saya sudah turun di halte persimpangan jalan SE Grand dan E Burnside. Namun, karena peta tak bisa diakses yang ada di ingatan hanya satu; Burnside skatepark berada di bawah jembatan, entah diatasnya ada jembatan apa saya kurang tahu. Tapi karena merasa sudah turun di titik terdekat dengan Burnside street akhirnya jalan harus ditelusuri secara manual dan tujuan satu-satunya saat itu adalah menemukan kolong jembatan!
Setelah berputar putar keliling blok ada satu jembatan menuju pusat kota sangat menarik perhatian, bau-bau kegiatan anak muda sudah tercium. Ada banyak coretan graffiti disana. Ternyata benar. Di ujung bawah pondasi jembatan menuju downtown dibawah situlah nampak menjulang tinggi lekukan quarter pipe yang menempel di atas tembok tinggi itu. Langsung terlintas beberapa pro skater yang pernah wallride dan tail drop atau acid drop dari ketinggian hampir 4 meter itu. Mungkin ada Tony Trujillo, Brent Atchley, Chet Childress, Mike Vallely, hingga Grant Taylor dan para pelahap transisi lainnya.
akhirnya ketemu juga nylempit di kolong jembatan |
Burnside skatepark terletak persis di bawah Burnside street yang membentang sejauh 21. 8 Km membelah kota Portland bagian utara ke selatan. Jalan tersebut dinamai dari nama seorang pedagang terkenal di Portland yaitu David Burnside di tahun 1891. Burnside skatepark sendiri mulai dibangun secara D.I.Y (do it yourself) pada tahun 90-an. Mencomot dari beberapa sumber online, kota Portland memiliki intensitas hujan yang tinggi. Para skater lokal kebingungan untuk cari tempat bermain skate indoor. Waktu itu, kota Portland masih dalam masa sulit, banyak pengangguran dan tingkat kriminalitas tinggi. Termasuk di daerah sekitar Burnside, karena dekat dengan jalur kereta api banyak tunawisma dan pengguna narkoba berkeliaran disitu. Hingga suatu malam berbekal semen diskonan dan beberapa sekop bekas, beberapa skater lokal Portland mulai membangun banks persis di bawah tembok kolong jembatan Portland. Lambat laun beberapa spot lain dibangun disana, hingga akhirnya terbentuklah skatepark sesungguhnya yang berdiri saat ini, usia skatepark ini sudah lebih dari 25 tahun, pemerintah kota Portland akhirnya mengakuisisi skatepark ini menjadi publik park. Namun dengan catatan, karena dibangun ilegal, kapan saja mereka bisa saja menutup atau menghancurkan skatepark ini dengan alasan (mungkin) pembangunan kota. Satu hal yang menurut saya penting dalam kasus skatepark Burnside ini adalah kultur D.I.Y yang akhirnya turut membangun kultur skateboard disana, karena dengan mereka melakukan uji coba membangun spot sendiri, mencampur semen, menemukan adukan dan ukuran yang pas akhirnya mengarahkan mereka menemukan jalan untuk membangun perusahaan skatepark builder sendiri. Cek website ini untuk melihat lebih jauh tentang perusahaan yang akhirnya berdiri karena pengalamannya membangun Burnside skatepark https://www.dreamlandskateparks.com/home/
Coba sedikit refleksi untuk skateboard di Indonesia, kita masih saja mengeluh belum ada skatepark yang bagus. Dengan ukuran dan campuran semen yang pas. Kita belum punya kultur sendiri untuk membuat D.I.Y spot. Kita ini masih setia lho dengan bermain skateboard di box and rail. Kultur skateboard memang lahir disini di Amerika, tapi apa yang saya pelajari mereka tidak establish dengan sendirinya, ada proses yang perlu dijalani hingga akhirnya sampai di titik yang sekarang ini. Bagaimana dengan di Indonesia? Nampaknya masih saja berkutat di box and rail lagi.
Under the Bridge |
Anyway, kembali ke Burnside, sesampainya di depan skatepark, gerbang untuk masuknya sangat unik. Atau bisa dibilang tidak ada gerbang masuk, karena seluruhnya adalah bangunan skatepark jadi cara masuk ke skatepark tersebut adalah dengan menaiki satu pijakan kaki ke quarter terpendek. Saya pikir ini sangat menarik, jadi skatepark ini di-posisikan sebagai tempat yang agak eksklusif, tidak sembarangan manusia bisa naik dan masuk ke skatepark ini. Hari itu kebetulan saya tidak bawa papan skate, belum beli maksudnya. Jadi saya foto-foto aja dan ngasih makan Instagram.
Seminggu kemudian skatepark saya datangi lagi, yang sekarang sudah beli papan. Akhirnya kesampaian juga meluncur di skatepark tersebut. Lagi-lagi skatepark sepi, mungkin jam-nya kurang cocok dengan skater lain yang bermain disitu. Namun kalau melihat ukuran skatepark dan cara yang bisa kita mainkan disitu saya rasa skatepark ini tidak akan ramai. Saya merasa kecil dan gagu di skatepark tersebut, hanya bisa mboseh, pumping dan naik turun transisi. Perasaan senang dan canggung campur aduk, betapa bahagianya ketika bisa mengunjung skatepark legendaris namun merasa kaku pada saat yang bersamaan karena tidak bisa memainkannya dengan maksimal.
Layaknya ziarah para wali, belum afdol kalau belum kirim doa dan tebar bunga, maka ziarah skate yang pertama ini semoga bisa afdol hanya dengan mboseh dan carving diatas transisinya.
Nantikan liputan selanjutnya di artikel mendatang setiap bulan>>>
NEXT EPISODE: “KESASAR DI SKATOPIA”
About penulis:
Zul mulai mengenal skateboard saat ia bolos dari bangku SMP ke persewaan PS di belakang sekolahnya. Disitu ia mulai keranjingan bermain Tony Hawk Pro Skater, trik Cannon Ball 720 adalah andalannya. Dilain kesempatan saat ia bolos, salah satu temannya baru saja membeli papan skateboard dari sebuah toko buku, maklum jaman dulu belum ada yang namanya skateshop. Disitu ia belajar ollie dan belum bisa berhenti bermain hingga sekarang. Saat ini untuk sementara waktu ia tinggal di kota Athens, Ohio, Amerika Serikat. Sambil belajar dan berkarya di bidang media dokumenter, setiap weekend ia sangat menikmati berkeliling sekitar dan menuliskan pengalamannya mewujudkan impian mengunjungi skate spot legendaris di sekitar USA. Untuk update lainnya bisa di follow ig nya disini @zoulord
Tapi bukannya memang ga sembarang skater boleh main disitu ya? setau saya senioritas disana tinggi sekali. Ohia burnside sengaja tidak diberi gerbang masuk karena pernah ada beberapa kendaraan (non-skater) yang masuk dan sengaja 'dimainkan' disitu.
ReplyDelete